Artikel

KEJUJURAN SEORANG PEDAGANG

Ketika perjalanan menuju Gunung Bunder, Cibatok, Bogor, ban motor-ku bocor. Terpaksalah aku menuju tukang tambal ban. Karena proses penambalan cukup lama, aku permisi kepada si tukang tambal untuk kewarung yang tidak jauh dari situ.

Selang beberapa saat, aku kembali lagi ke tempat tambal, dan ternyata ban motor ku sudah selesai ditambal. Ketika hendak membayar ongkos tambal, yang kutemui hanya kakak si tukang tambal, sedang adiknya tidak terlihat. Padahal yang menambal tadi adalah adiknya, jadilah kutanyakan saja berapa biaya tambal kepada sang kakak, ia menjawab ”Rp. 10.000,-”. Aku agak kaget mendengar jumlah yang disebutkannya, bukannya hanya Rp. 5.000,-, lalu kutanyakan, ”Memang bocornya dua lubang?”
”Ya”, sahut si kakak. Aku merogoh saku celanaku, dan ternyata uang ku hanya Rp. 5.000,-, aku lalu berikan uang itu sambil berkata, ”Sisanya sebentar ya, saya ke warung itu dulu, tadi uang saya belum dikembalikan oleh tukang warung.”

Lalu segera aku bergegas ke warung tadi, untuk mengambil kembalian uang yang belum sempat kuambil. Melihat sikap ku yang tergesa-gesa, sang ibu warung bertanya, ”Ada apa neng, kok terburu2?”
”Ya bu, aku masih kurang bayar ke tukang tambal ban, bu.”
”Lha, ini tukang tambalnya ada disini”, sahut si ibu warung sambil menunjuk seorang laki-laki yang tengah menyeruput kopi, dekat ku.
”Oh ya, berapa ongkosnya kang?” tanyaku pada laki-laki itu.
”Rp. 7.000,- saja, neng”, balasnya sambil tersenyum.
Lalu kuberikan Rp. 2.000,- kepada si adik, tukang tambal ban itu, sambil berkata, ”Yang Rp. 5.000,- sudah kuberikan abangmu di kiosmu, ya kang.”

Setelah meninggalkan tempat itu, aku lalu berpikir… betapa sulitnya untuk jujur. Mengapa sang kakak, menetapkan harga tanpa sepengetahuan sang adik? Alhamdulillah, aku tidak jadi kena tipu.

Kejadianku diatas mengingatkanku pada kisah seorang Pedagang yang sangat jujur.

Pedagang itu bernama Yunus bin Ubaid, ia menyuruh saudaranya Amir intuk menjaga kiosnya karena ia akan shalat. Ketika itu datanglah seorang Badwi yang hendak berbelanja. Harga barang yang hendak dibeli adalah 400 dirham. Amir lalu memberikan barang yang sebenarnya berharga 200 dirham. Tanpa tawar menawar, akhirnya barang itu dibeli sang Badwi.

Ditengah jalan, sang Badwi berpapasan dengan Yunus bin Ubaid. Yunus pun mengenali barang yang dibeli oleh Badwi itu adalah dari warungnya, maka iapun bertanya, “Berapakah harga barang ini kamu beli?”
“Empat ratus dirham”, Badwi itu menjawab.
“Aduh, harganya hanya 200 dirham saja. Mari kembali ke kios-ku, akan ku kembalikan kelebihannya”, kata Yunus.
“Sudah biarlah, nggak apa-apa kok. Justru aku merasa beruntung, dikampungku barang ini harga termurahnya 500 dirham.”
Namun Yunus tetap memaksa Badwi tersebut untuk kembali ke warungnya.
Akhirnya Badwipun menurut. Setelah dikembalikan kelebihan uang itu, Badwi-pun berlalu.

Sepeninggal Badwi tersebut, Yunus menegur Amir, saudaranya yang telah ia percayakan kiosnya selama ia menunaikan shalat. Kata Yunus, “Apakah kamu tidak merasa malu dan takut kepada Allah SWT telah berlaku curang?”
“Tetapi Badwi itu sendiri mau membelinya tanpa menawar lagi”, sahut Amir mencoba membela diri.
“Ya boleh jadi pengakuan-mu itu benar, tetapi ketahuilah bahwa di pundak kita ini terpikul satu amanah, yang harus memperlakukan sesama kita sebaik kita memperlakukan diri kita sendiri”, ucap Yunus sedikit geram.

Rasulullah saw bersabda,
“Sesungguhnya Allah itu penetap harga, yang menahan, yang melepas dan memberi rizqi dan sesungguhnya aku berharap dapat bertemu Allah di dalam keadaan tidak seorang pun dari kamu menuntut aku lantaran menzalimi di jiwa atau diharga.”
(Diriwayatkan oleh lima imam kecuali imam Nasa’i)

 

Tinggalkan komentar